MoU Helsinki, Tapal Batas dan Empat Pulau Sengketa

Karena itu jika Pemerintah Pusat berkeinginan dan mempunyai tekad agar keberlangsungan damai Aceh terus berjalan dengan baik, sudah waktunya memperbaiki dan melakukan kebijakan sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati. Karena ancaman Aceh kembali bergejolak itu sangat nyata. Itu hal yang sudah menjadi rahasia umum. Bahkan baru – baru ini ada perwakilan NGO yang bersuara di forum PBB perihal Aceh.

***

Oleh Muhajir Ibnu Marzuki

Masih hangat dalam pembicaraan publik di Aceh perihal empat Pulau di Kabupaten Singkil ditetapkan sebagai bagian dari wilayah Tapanuli Tengah; Sumatra Utara.

Menurut Pemerintah Pusat yang disampaikan oleh Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri, Safrizal ZA, bahwa status 4 pulau yakni Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang sebagai cakupan wilayah administrasi Provinsi Sumut berdasarkan rapat Pada 13 Januari 2021 bertempat di Ruang Rapat Gedung H Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan yang dihadiri secara tatap muka dan virtual oleh KKP, Pushidrosal, BIG, ORPA-BRIN, dan Biro Hukum – Kemendagri.

Dari pernyataan Pemerintah Pusat di atas terlihat bahwa sikap Pemerintah Pusat dalam memutuskan persoalan 4 pulau tersebut dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan pemerintah Aceh. Perihal terlihat bahwa sikap Pemerintah Pusat yang arogansi dan otoriter.

Padahal dalam perubahan nama Daerah, pemberian nama dan perubahan nama bagian rupa bumi, pemindahan ibu kota, serta
perubahan nama ibu kota ada aturan yang telah dibuat. Dalam undang undang no 24 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah ada diatur perihal ini. Kemudian pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
nomor 2 tahun 2O21
tentang
penyelenggaraan nama rupabumi secara jelas di atur mulai dari pengumpulan, penelaahan; pengumuman;
Penetapan Nama Rupabumi baku; hingga
penyusunan Gazeter Republik Indonesia.

Bahkan dalam PP tersebut terlihat bahwa penyusunan Gazeter Republik Indonesia bisa dievaluasi tiap tahun. Pasal 22 ayat 4 berbunyi :
Gazeter Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diterbitkan oleh Badan setiap 1 (satu)
tahun sekali dan sewaktu-waktu apabila diperlukan.

Karena itu perihal 4 pulau yang diklaim milik Aceh kini ditetapkan bagian Sumatra Utara seharusnya bisa dievaluasi untuk selanjutnya di notifikasi kepada PBB sebagaimana titah PP no 2 tahun 2021 tentang penyelenggaraan nama rupabumi pasal 22 ayat 5.
“Gazeter Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dinotifikasi oleh Badan kepada United
Nations Groups of Experts on Geographical Names”.

Karena itu jika Pemerintah Pusat beritikad baik perihal hubungan yang sehat antara Aceh dan Jakarta maka seyogyanya persoalan empat Pulau itu mesti dilakukan secara arif dan bijaksana.

Lain hal pemerintah Pusat juga harus menyelesaikan kewajibannya persoalan tapal batas Aceh yang disepakati kala perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka dan Republik Indonesia yang lebih dikenal MoU Helsinki.
Pada poin 1.1.4 jelas termaktub bahwa perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956.

Kekecewaan rakyat Aceh yang terus menerus ditipu akan semakin memuncak jika kebijakan yang dilakukan selalu membelakangi MoU Helsinki dan aturan turunan seperti UU PA.

Banyak poin MoU Helsinki yang belum ditunaikan oleh Pemerintah Pusat walau damai itu sudah berjalan 20 tahun seperti persoalan tapal batas Aceh; Perihal bendera dan lambang Aceh yang belum disepakati dan beberapa poin lainnya.

Bahkan baru – baru ini sebelum adanya isu 4 pulau di kawasan perairan Singkil; muncul kabar bahwa Pemerintah Pusat akan menambah 4 bataliyon TNI di Aceh; dimana hal ini jelas melanggar dari kesepakatan damai.

Pada MoU Helsinki poin 4.8 termaktub :
”Tidak akan ada pergerakan besar-besaran tentara setelah
penandatanganan Nota Kesepahaman ini. Semua pergerakan lebih dari
sejumlah satu peleton perlu diberitahukan sebelumnya kepada Kepala
Misi Monitoring.”

Lain hal dalam MoU Helsinki juga disebutkan bahwa jumlah tentara organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah
14.700 orang.dan jumlah kekuatan polisi organik yang tetap berada di Aceh
setelah relokasi adalah 9.100 orang.

Perihal jumlah tentara organik dan Polisi organik ini belum ada data yang dirilis secara terbuka, jujur dan transparan kepada rakyat Aceh.

Pelaksanaan pilkada yang dilakukan serentak juga menyalahi dari pada kesepakatan damai dan Undang undang khusus Pemerintah Aceh. Dimana seharusnya pilkada Aceh harus dilakukan tahun 2022 bukanlah 2024. Namun pemerintah pusat seperti abai dan melupakan perihal ini.

Selain itu persoalan pelantikan pemimpin terpilih di Aceh pun ada dramanya. Dimana Pemerintah Pusat awalnya berencana melantik semua pemimpin terpilih di Jakarta secara serentak nasional.

Namun kemudian hari sepertinya Jakarta melihat ada pergerakan lain yang merasa kecewa atas sikap Jakarta itu. Sehingga dengan buru – buru dan mendesak Gubernur dan wakil Gubernur Aceh terpilih akhirnya dilantik di Aceh melalui sidang Paripurna DPRA sebagaimana titah Undang undang Pemerintah Aceh.

Upaya – upaya pengkhianatan dan pengabaian terhadap terhadap MoU Helsinki dan UU PA oleh Jakarta bukan sekali dua kali dilakukan. Kalau dihitung mungkin sudah belasan kali dilakukan secara terang dan licik.

Bahkan untuk hari perayaan saja patut diduga Jakarta mencoba untuk memanipulasinya. Itu terjadi pada tahun 2015 saat perayaan damai Aceh yang ke 10 tahun.
Dimana saat itu secara resmi perayaan damai Aceh dilakukan pada 15 November, yang seharusnya perayaan damai mesti dilakukan pada tanggal dimana kesepakatan itu terjadi yaitu pada 15 Agustus.

Karena itu persoalan hubungan Jakarta dan Aceh akan harmonis dan berjalan mulus bila Pemerintah Pusat tidak memaksa kehendak dan misinya di Aceh. Yang harus dilakukan adalah bagaimana kesepakatan dan aturan yang telah dibuat dijalankan sebagaimana mestinya.

Ini bukan hanya persoalan remeh dan sepele. Namun ini adalah persoalan yang harus benar benar dipantau; diawasi dan dilakukan dengan baik. Karena ini menyangkut masa depan Aceh khususnya dan Indonesia umumnya. Lain hal ini juga menyangkut keberlangsungan perdamaian di Aceh.

Bagaimanapun secara umum rakyat Aceh dan eks pejuang kemerdekaan Aceh khususnya masih banyak yang belum bisa menerima damai dengan ikhlas. Hal itu bukan disebabkan oleh faktor kesenjangan ekonomi, lebih kepada faktor sejarah, agama, ideologi dan berbagai aspek lain.

Karena itu jika Pemerintah Pusat berkeinginan dan mempunyai tekad agar keberlangsungan damai Aceh terus berjalan dengan baik, sudah waktunya memperbaiki dan melakukan kebijakan sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati. Karena ancaman Aceh kembali bergejolak itu sangat nyata. Itu hal yang sudah menjadi rahasia umum. Bahkan baru – baru ini ada perwakilan NGO yang bersuara di forum PBB perihal Aceh.

Lain hal pihak GAM yang ikut menandatangani damai seharusnya juga bersuara secara terbuka perihal ini. Yang perlu dipahami bahwa GAM bukanlah salah satu Partai lokal dan juga bukanlah sebuah ormas eks kombatan militer GAM.

GAM walau dulunya dianggap separatis oleh Pemerintah Republik Indonesia; maka semenjak damai 15 Agustus 2005; GAM sudah menjadi bagian dari sejarah Aceh dan Indonesia umumnya yang diakui keberadaanya. Hingga kini menurut hemat penulis GAM belumlah dibubarkan; karena tidak ada poin apapun dalam kesepakatan damai yang memuat agar GAM dibubarkan.

Karena itu Pemerintah Indonesia sudah semestinya merangkul organisasi GAM dan berbagai elemen lain di Aceh untuk saling berkomunikasi dengan baik, seimbang dan setara demi kebaikan dan keberlangsungan damai Aceh sehingga tidak terjadi hal yang diinginkan ke depannya. Semoga Allah merahmati Aceh..

Muhajir Ibnu Marzuki

  • Sekjen Ormas Al Kahar Aceh
  • Direktur Sumatra Institute

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *