Qanun Produk Makanan Ringan: Saatnya Aceh Tegas Jaga Akidah dan Ekonomi Rakyat

Tgk. H. Umar Rafsanjani. Lc. MA
Pimpinan Dayah Mini Aceh,

Oleh. Tgk. Umar Rafsanjani

Aceh, sebagai daerah yang diberi kekhususan dalam menjalankan Syariat Islam, memiliki tanggung jawab lebih besar dari provinsi lain dalam memastikan segala aspek kehidupan masyarakatnya selaras dengan nilai-nilai Islam. Salah satu aspek yang sering luput dari perhatian serius adalah sektor makanan ringan terutama camilan anak-anak yang banyak beredar di pasaran, sebagian besar di antaranya adalah produk impor dari luar negeri.

Beberapa waktu terakhir, masyarakat Aceh dikejutkan dengan temuan yang sangat memprihatinkan. Sebanyak sembilan produk camilan asal China yang menyerupai makanan ringan anak seperti ‘mas milo’ terbukti positif mengandung unsur babi. Tak hanya itu, hasil investigasi di lapangan menunjukkan adanya kejanggalan administratif yang fatal: produk-produk tersebut berasal dari perusahaan yang sama, namun memiliki nomor BPOM yang berbeda, dan yang lebih parah, menggunakan sertifikat halal yang sama untuk jenis produk yang berbeda. Padahal, secara aturan, setiap produk harus memiliki sertifikat halal tersendiri sesuai dengan jenis dan komposisinya.

Temuan ini bukan hanya bentuk kelalaian, tetapi sudah masuk ke wilayah pembiaran yang membahayakan umat. Konsumen, khususnya anak-anak Aceh, telah menjadi korban dari lemahnya pengawasan dan ketiadaan regulasi lokal yang tegas dalam menyaring produk konsumsi yang beredar di tengah masyarakat. Hal ini menjadi cambuk bagi kita semua, terutama para pemangku kepentingan di Aceh, untuk segera bertindak tegas dan preventif.

Saya, Tgk. Umar Rafsanjani, sebagai bagian dari masyarakat Aceh yang peduli terhadap pendidikan, akidah, dan keberlangsungan hidup anak-anak yatim serta dhuafa, memandang bahwa sudah saatnya Aceh melahirkan sebuah Qanun Khusus tentang Produk Makanan Ringan. Qanun ini tidak sekadar menjadi instrumen hukum, tetapi harus menjadi perisai moral dan spiritual bagi generasi Aceh.

Mengapa Aceh membutuhkan Qanun Produk Makanan Ringan?

Pertama, untuk menyaring dan membatasi produk makanan ringan impor yang tidak jelas kehalalannya. Kita tidak bisa terus-menerus bergantung pada jaminan halal dari pusat atau dari negara produsen yang tidak memiliki standar halal seperti yang kita anut. Aceh memiliki hak dan otoritas untuk menetapkan standar kehalalan sendiri melalui Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), sebagaimana diatur dalam kekhususan Aceh. Oleh karena itu, setiap produk makanan ringan yang masuk dan beredar di Aceh harus memiliki sertifikat halal dari MPU Aceh, bukan hanya dari MUI pusat.

Kedua, qanun ini akan menjadi alat untuk memperkuat pelaku UMKM lokal, khususnya produsen makanan ringan di kalangan masyarakat. Dengan adanya pembatasan dan pengawasan ketat terhadap produk impor, maka peluang pasar akan terbuka lebih luas untuk produk lokal yang lebih bisa dipertanggungjawabkan bahan, proses, dan kehalalannya. Ini adalah bentuk perlindungan pasar lokal yang Islami dan berpihak kepada rakyat kecil.

Ketiga, qanun ini dapat mengatur aspek labelisasi dan edukasi masyarakat, termasuk keharusan mencantumkan komposisi bahan yang transparan dalam bahasa Indonesia dan proses sertifikasi yang bisa diakses masyarakat. Pemerintah Aceh dapat mewajibkan label kehalalan lokal, mengatur ulang distribusi, dan melakukan pelatihan kepada pelaku usaha untuk meningkatkan kualitas dan kesadaran halal dalam produksi makanan.

Aceh tidak boleh hanya menjadi pasar pasif dari produk-produk global yang tidak terkendali. Kita tidak bisa menukar akidah anak-anak kita dengan rasa manis sepotong camilan murahan yang berlabel menarik namun mencemari jiwa. Kita tidak boleh menjadi konsumen abadi dari makanan luar yang mengancam nilai dan kesehatan generasi muda Aceh.

Saya juga mendesak agar dalam penyusunan qanun ini, MPU Aceh, Dinas Syariat Islam, Dinas Kesehatan, dan DPRA dapat bekerja sama secara konkret. Qanun ini bukan hanya soal makanan, ini tentang jati diri Aceh sebagai negeri bersyariat. Kita telah diberikan ruang istimewa oleh negara, maka jangan kita abaikan amanah itu dengan membiarkan makanan haram masuk begitu mudahnya ke warung-warung dan sekolah-sekolah di kampung kita.

Langkah ini juga bisa menjadi preseden nasional, bahwa Aceh mampu menunjukkan kepemimpinan moral dalam urusan halal haram di tengah era liberalisasi pasar. Kita tidak menolak kemajuan atau perdagangan bebas, tapi kita ingin kemajuan yang bersih dan perdagangan yang bermartabat, selaras dengan hukum Allah.

Terakhir, saya menyeru kepada seluruh orang tua, guru, dan pemuka masyarakat untuk lebih teliti dan aktif dalam mengawasi apa yang dikonsumsi anak-anak kita. Edukasi tentang pentingnya kehalalan harus dimulai dari rumah dan diperkuat dengan kebijakan yang berpihak kepada kebenaran.

Qanun Produk Makanan Ringan bukan sekadar regulasi, tetapi komitmen Aceh dalam menjaga akidah, kesehatan, dan martabat umat. Saatnya kita bertindak, bukan sekadar bereaksi. Jangan sampai kita terlambat lagi, dan generasi kita menjadi korban dari kelalaian yang bisa kita cegah hari ini.

Tgk. H. Umar Rafsanjani. Lc. MA
Pimpinan Dayah Mini Aceh, Ketua Komisi C MPU Kota Banda Aceh dan Aktivis Sosial

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *